Jumat, 01 Agustus 2008

ONCOM MERAH DAN ONCOM HITAM


Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat banyak sehingga disebut “mega diversity”. Selain itu Indonesia juga memiliki keragaman budaya dan makanan tradisional yang sampai saat sekarang masih tetap merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan telah dijadikan salah satu objek penelitian ilmiah sebagai bentuk respon terhadap kemajuan bioteknologi terutama untuk mengeksplorasi berbagai plasma nuftah asli Indonesia khususnya dari segi mikrobiologi. Makanan-makanan tradisional yang dijadikan objek penelitian umumnya makanan yang diproduksi melalui proses fermentasi oleh mikroorganisme seperti khamir (ragi, yeast), kapang (molds) dan bakteri.
Di dalam masyarakat Indonesia keanekaragaman makanan produk fermentasi sangat banyak jenisnya seperti oncom, tempe, tape ketan, tape singkong, brem cair, cairan tape ketan (badheg), peyeum, tauco, acar, tuak, dan lain sebagainya. Dari semua jenis produk fermentasi tersebut, oncom dan tempe merupakan jenis produk fermentasi oleh kapang yang sangat dikenal di Indonesia khususnya di daerah Jawa Barat.
Oncom merupakan produk makanan yang dihasilkan melalui fermentasi bungkil kacang tanah oleh kapang Neurospora sitophila dan Rhizopus oligosporus. Bungkil kacang tanah mengandung serat yang tinggi dan sulit dicerna, tetapi melalui teknik fermentasi dapat diubah menjadi makanan yang berkualitas dan mempunyai peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan protein dan harganya yang relatif rendah (Winarno 1984).
Saat ini dikenal dua jenis oncom, yaitu oncom merah dan oncom hitam. Perbedaan kedua jenis oncom tersebut terletak pada jenis kapang serta jenis bahan baku yang digunakan. Oncom merah dihasilkan oleh kapang Neurospora sitophila yang mempunyai strain jingga, merah, merah muda, dan warna peach (Siswono 2002), dan biasanya menggunakan bahan baku ampas tahu. Sedangkan oncom hitam dihasilkan oleh kapang Rhizopus oligosporus dengan bahan baku bungkil kacang tanah atau kulit kacang kedelai yang dicampur dengan onggok (ampas tepung tapioka). Perbedaan warna pada oncom ditentukan oleh warna pigmen yang dihasilkan oleh kapang yang digunakan dalam proses fermentasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Winarno (1984) bahwa warna yang terbentuk pada oncom adalah warna dari spora kapang oncom.
Makanan produk fermentasi merupakan makanan yang memiliki karakteristik bahan yang berbeda dengan bahan dasar aslinya, proses perubahan karakteristik ini sebagai akibat aktivitas mikroorganisme seperti kapang, khamir ataupun bakteri untuk jangka waktu tertentu (Suliantri dan Rahayu 1990; Anke 1997). Lebih lanjut Steinkraus (1997) mengemukakan bahwa makanan produk fermentasi menghasilkan enzim amilase, protease, lipase untuk menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak, aroma dan tekstur yang menarik dan disukai oleh konsumen.
Makanan yang diolah melalui produk fermentasi akan memberikan beberapa keuntungan antara lain lebih tahan lama, menghilangkan bau yang tidak diinginkan, meningkatkan cita rasa, aroma, warna, tekstur dan kandungan gizi (Suliantari dan Rahayu 1990; Steinkraus 1997).
Selama proses fermentasi berlangsung, bahan baku oncom mengalami perubahan sifat fisik dan kimia, seperti rasa, aroma, warna, tekstur, kandungan zat gizi dan sifat organoleptiknya lebih disukai dibandingkan sebelum difermentasikan (Raharjo et al. 2000; Sofyan 2002).
Proses fermentasi dapat menghilangkan zat anti nutrisi dan racun yang biasanya terdapat pada bahan mentah, misalnya kedelai atau kacang-kacangan yang lainnya (Suliantari dan Rahayu 1990). Aspergilus flavus adalah salah satu jenis kapang yang menghasilkan mikotoksin yang disebut aflatoksin. Sebagaimana yang dilaporkan Kasno (2004) bahwa kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah dalam bentuk polong segar, polong kering, biji serta produk olahan sederhana seperti kacang rebus, bungkil dan oncom.
Kapang oncom merah (Neurospora sitophila) dapat mereduksi (mengurangi) kandungan aflatoksin selama proses fermentasi bungkil kacang tanah sebesar 50% , sedangkan penggunaan kapang Rhizopus oligosporus dapat mengurangi aflatoksin bungkil sebesar 60%, sedangkan oncom yang terbuat dari ampas tahu tidak mengandung aflatoksin (Veen et al. 1968; Slamet dan Tarwotjo 1971). Selain itu dengan adanya aktivitas mikroorganisme selama proses fermentasi, maka sifat-sifat bahan mentah yang tidak disukai seperti bau, rasa dan lain sebagainya dapat ditingkatkan nilainya.



DAFTAR PUSTAKA

Anke T. 1997. Fungal Biotechnology. London : Chapman and Hall.

Gandjar I, Samson RA, Vermeulen KVT, Oetari A, Santoso I. 2000. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta : Universitas Indonesia.

Kasno A. 2004. Pencegahan infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah. J. Litbang Pertanian 23 (3):75-81. Malang

Raharjo H, Harjanto S, Hermawan N, Trisnayani E, Bahara R. 2000. Pengembangan oncom merah bermedia ampas tahu untuk pembuatan selai tiruan karya gizi dengan teknik emulsifikasi in situ [Proposal lomba karya inovatif produktif bidang pertanian]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Siswono. 2002. Oncom menutup kekurangan energi dan protein. Gizi net.com
Slamet, Tarwotjo. 1971. Kadar Zat Gizi Dalam Oncom Dalam Penelitian Gizi dan Makanan. Bogor : Balai Penelitian Unit Semboja.

Sofyan IHM. 2003. Pengaruh Suhu Inkubasi dan Konsentrasi Inokulum Rhizopus oligosporus Terhadap Mutu Oncom Bungkil Kacang Tanah. J. Infomatek Vol. 5 Nomor 2 : 65-87.

Steinkraus. 1997. Fermentations in World Food Processing. Comprehensive Reviews In Food Science and Food Safety. Volume : 1. New York.

Suliantari, Rahayu WP. 1990. Teknologi Fermentasi Biji-bijian dan Umbi-umbian [Bahan Pengajaran]. Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Veen VAG, Graham DCW, Steinkraus. 1968. Fermented peanut press cake. J. Cereal Sci. Today 13(3) : 96-99.

Winarno FG. 1984. Bahan pangan terfermentasi . Kumpulan Pikiran dan Gagasan Tertulis 1980-1981. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1-7.




Tidak ada komentar: